ASTRONOMI adalah ilmu tertua sepanjang sejarah peradaban manusia,zaman babilonia, sumeria, mesir, china dan setelah runtuhnya kebudayaan Yunani dan Romawi pada abad pertengahan, maka kiblat kemajuan ilmu astronomi berpindah ke bangsa Arab. Astronomi berkembang begitu pesat pada masa keemasan Islam (8 – 15 M).
Seperti yang dikutip dari versesofuniverse.blogspot.com,
Karya-karya astronomi Islam kebanyakan ditulis dalam bahasa Arab dan
dikembangkan para ilmuwan di Timur Tengah, Afrika Utara, Spanyol dan
Asia Tengah.
Salah satu bukti dan pengaruh astronomi Islam yang cukup signifikan
adalah penamaan sejumlah bintang yang menggunakan bahasa Arab, seperti
Aldebaran dan Altair, Alnitak, Alnilam, Mintaka (tiga bintang terang di
sabuk Orion), Algol, Betelguese, Zubelnegubi. Selain itu, astronomi
Islam juga mewariskan beberapa istilah dalam `Ratu Sains’ itu yang
hingga kini masih digunakan, seperti Alhidade, Azimuth, Almucantar,
Almanac, Zenith, Nadir, dan Vega dan masih banyak lagi. Kumpulan tulisan
dari astronomi Islam hingga kini masih tetap tersimpan dan jumlahnya
mencapai 10 RIBU MANUSKRIP.
Menurut para ahli sejarah, kedekatan dunia Islam dengan dunia lama
yang dipelajarinya menjadi faktor berkembangnya astronomi Islam. Selain
itu, begitu banyak teks karya-karya ahli astronomi yang menggunakan
bahasa Yunani Kuno, dan Persia yang DITERJEMAHKAN ke dalam bahasa Arab
pada abad ke 9. Salah satu yang diterjemahkan adalah karya Ptolomeus
yang termasyhur, ALMAGEST. Proses ini dipertinggi dengan toleransi
terhadap sarjana dari agama lain. Sayang, dominasi itu tak bisa
dipertahankan umat Islam.
Ahli sejarah sains, Donald Routledge Hill, membagi sejarah astronomi Islam ke dalam 4 periode.
●Periode pertama (700-825 M) adalah masa asimilasi dan penyatuan awal dari astronomi YUNANI, INDIA dan SASSANID.
●Periode kedua (825-1025) adalah masa investigasi besar-besaran dan penerimaan serta modifikasi sistem PTOLOMEUS.
●Periode ketiga (1025-1450 M), masa kemajuan sistem astronomi Islam.
●Periode keempat (1450-1900 M), masa stagnasi, hanya sedikit kontribusi yang dihasilkan.
Ilmuwan Islam begitu banyak memberi kontribusi bagi pengembangan
dunia astronomi. Buah pikir dan hasil kerja keras para sarjana Islam di
era tamadun itu diadopsi serta dikagumi para saintis Barat. Inilah
beberapa ahli astronomi Islam dan kontribusi yang telah disumbangkannya
bagi pengembangan ilmu astronomi atau `ratu sains’ itu.
Al-Farghani (… – 870 M)

Nama lengkapnya Abu’l-Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Kathir al-Farghani. Ia merupakan salah seorang sarjana Islam dalam bidang astronomi yang amat dikagumi. Beliau adalah merupakan salah ahli astronomi pada masa Khalifah Al-Ma’mun. Dia menulis mengenai astrolabe dan menerangkan mengenai teori matematik di balik penggunaan peralatan astronomi itu. Kitabnya yang paling populer adalah Fi Harakat Al-Samawiyah wa Jaamai Ilm al-Nujum tentang kosmologi.
Nama lengkapnya Abu’l-Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Kathir al-Farghani. Ia merupakan salah seorang sarjana Islam dalam bidang astronomi yang amat dikagumi. Beliau adalah merupakan salah ahli astronomi pada masa Khalifah Al-Ma’mun. Dia menulis mengenai astrolabe dan menerangkan mengenai teori matematik di balik penggunaan peralatan astronomi itu. Kitabnya yang paling populer adalah Fi Harakat Al-Samawiyah wa Jaamai Ilm al-Nujum tentang kosmologi.
Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad ke-12 dan
tetap sangat populer di Eropa sampai masa Regiomontanus. Pengetahuan
Dante Alighieri tentang astronomi Ptolemaic, yang terlihat dalam bukunya
Divina Commedia serta karya-karya lainnya seperti Convivio, tampaknya
telah diambil dari karya Alfraganus yang dia baca. Pada abad ke-17
orientalis Belanda Jacob Golius menerbitkan teks Arab atas manuskrip
yang diperolehnya di Timur Dekat, dengan terjemahan Latin baru dan
catatan yang ekstensif.
Al-Battani (858 – 929 M).

Al-Batani banyak mengoreksi perhitungan Ptolomeus mengenai orbit bulan dan planet-planet tertentu. Dia membuktikan kemungkinan gerhana matahari tahunan dan menghitung secara lebih akurat sudut lintasan matahari terhadap bumi, perhitungan yang sangat akurat mengenai lamanya setahun matahari 365hari, 5 jam, 46 menit dan 24 detik.
Al-Batani banyak mengoreksi perhitungan Ptolomeus mengenai orbit bulan dan planet-planet tertentu. Dia membuktikan kemungkinan gerhana matahari tahunan dan menghitung secara lebih akurat sudut lintasan matahari terhadap bumi, perhitungan yang sangat akurat mengenai lamanya setahun matahari 365hari, 5 jam, 46 menit dan 24 detik.
Al-Battani mengusulkan teori baru untuk menentukan kondisi dapat
terlihatnya bulan baru. Tak hanya itu, ia juga berhasil mengubah sistem
perhitungan sebelumnya yang membagi satu hari ke dalam 60 bagian (jam)
menjadi 12 bagian (12 jam), dan setelah ditambah 12 jam waktu malam
sehingga berjumlah 24 jam.
Buku fenomenal karya Al-Battani pun diterjemahkan Barat. Buku “De
Scienta Stelarum De Numeris Stellarum” itu kini masih disimpan di
VATIKAN ROMA ITALIA. Tokoh-tokoh astronomi EROPA seperti “Copernicus”,
“Regiomantanus”, “Kepler” dan “Peubach” TAK MUNGKIN MENCAPAI SUKSES
tanpa jasa Al-Batani. Copernicus dalam bukunya ‘De Revoltionibus Orbium
Clestium’ mengaku berutang budi pada Al-Battani.
Al-Sufi (903 – 986 M)

Orang Barat menyebutnya Azophi. Nama lengkapnya adalah Abdur Rahman as-Sufi. Al-Sufi merupakan sarjana Islam yang mengembangkan astronomi terapan. Ia berkontribusi besar dalam menetapkan arah laluan bagi matahari, bulan, dan planet dan juga pergerakan matahari. Dalam Kitab Al-Kawakib as-Sabitah Al-Musawwar, Azhopi menetapkan ciri-ciri bintang, memperbincangkan kedudukan bintang, jarak, dan warnanya. Ia juga ada menulis mengenai ASTROLABEL (perkakas kuno yang biasa digunakan untuk mengukur kedudukan benda langit pada bola langit) dan seribu satu cara penggunaannya.
Orang Barat menyebutnya Azophi. Nama lengkapnya adalah Abdur Rahman as-Sufi. Al-Sufi merupakan sarjana Islam yang mengembangkan astronomi terapan. Ia berkontribusi besar dalam menetapkan arah laluan bagi matahari, bulan, dan planet dan juga pergerakan matahari. Dalam Kitab Al-Kawakib as-Sabitah Al-Musawwar, Azhopi menetapkan ciri-ciri bintang, memperbincangkan kedudukan bintang, jarak, dan warnanya. Ia juga ada menulis mengenai ASTROLABEL (perkakas kuno yang biasa digunakan untuk mengukur kedudukan benda langit pada bola langit) dan seribu satu cara penggunaannya.
Ibnu Yunus (950 -1009 M)

Sebagai bentuk pengakuan dunia astronomi terhadap kiprahnya, namanya diabadikan pada sebuah KAWAH di PERMUKAAN BULAN. Salah satu kawah di permukaan bulan ada yang dinamakan Ibn Yunus. Ia menghabiskan masa hidupnya selama 30 tahun dari 977-1003M untuk memperhatikan benda-benda di angkasa. Dengan menggunakan astrolabe yang besar, hingga berdiameter 1,4meter, Ibnu Yunus telah membuat lebih dari 10 ribu catatan mengenai kedudukan matahari sepanjang tahun.
Sebagai bentuk pengakuan dunia astronomi terhadap kiprahnya, namanya diabadikan pada sebuah KAWAH di PERMUKAAN BULAN. Salah satu kawah di permukaan bulan ada yang dinamakan Ibn Yunus. Ia menghabiskan masa hidupnya selama 30 tahun dari 977-1003M untuk memperhatikan benda-benda di angkasa. Dengan menggunakan astrolabe yang besar, hingga berdiameter 1,4meter, Ibnu Yunus telah membuat lebih dari 10 ribu catatan mengenai kedudukan matahari sepanjang tahun.
Karya Ibnu Yunus ‘paling terkenal dalam astronomi Islam adalah al-Zij
al-Kabir al-Hakimi (1000 M), adalah buku panduan dari tabel astronomi
yang berisi pengamatan yang sangat akurat, banyak yang mungkin telah
diperoleh dengan instrumen astronomi yang sangat besar. Menurut NM
Swerdlow, Zij al-Kabir al-Hakimi adalah “sebuah karya orisinalitas luar
biasa. Sayang hanya lebih dari setengahnya yang selamat (diketahui)”.
Yunus mengungkapkan solusi dalam zij tanpa simbol matematika, namun
Delambre mencatat di tahun 1819 terjemahannya dari tabel Hakemite bahwa
dua metode Ibnu Yunus ‘untuk menentukan waktu dari ketinggian matahari
atau bintang, setara dengan identitas trigonometri 2cos (a ).cos (b) =
cos (a + b) + cos (ab) diidentifikasi dalam naskah abad ke-16 Johannes
Werner pada bab kerucut. Sekarang diakui sebagai salah satu formula
Werner, formula ini penting untuk pengembangan prosthaphaeresis dan
logaritma beberapa puluh tahun kemudian. Ibnu Yunus juga menjelaskan 40
konjungsi planet dan 30 gerhana bulan.
Ibnu Haitham (965 – 10390 M)

Ibnu Haitham merupakan ilmuwan yang gemar melakukan penyelidikan. Penyelidikannya mengenai cahaya telah memberikan ilham kepada ahli sains barat seperti Boger, Bacon, dan Kepler mencipta mikroskop serta teleskop. Ia merupakan orang pertama yang menulis dan menemukan berbagai data penting mengenai cahaya.
Ibnu Haitham merupakan ilmuwan yang gemar melakukan penyelidikan. Penyelidikannya mengenai cahaya telah memberikan ilham kepada ahli sains barat seperti Boger, Bacon, dan Kepler mencipta mikroskop serta teleskop. Ia merupakan orang pertama yang menulis dan menemukan berbagai data penting mengenai cahaya.
Beberapa buah buku mengenai cahaya yang ditulisnya telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, antara lain Light dan On Twilight
Phenomena. Kajiannya banyak membahas mengenai senja dan lingkaran
cahaya di sekitar bulan dan matahari serta bayang-bayang dan gerhana.
Menurut Ibnu Haitham, cahaya fajar bermula apabila matahari berada
di garis 19 derajat di ufuk timur. Warna merah pada senja pula akan
hilang apabila matahari berada di garis 19 derajat ufuk barat. Dalam
kajiannya, beliau juga telah berhasil menghasilkan kedudukan cahaya
seperti bias cahaya dan pembalikan cahaya.
Ibnu Haitham juga turut melakukan percobaan terhadap kaca yang
dibakar, dan dari situ ditemukanlah teori lensa pembesar. Teori itu
telah digunakan oleh para ilmuwan di Itali untuk menghasilkan kaca
pembesar yang pertama di dunia.
Yang lebih menakjubkan ialah Ibnu Haitham telah menemui prinsip isi
padu udara sebelum seorang ilmuwan yang bernama Trricella yang
mengetahui perkara itu 500 tahun kemudian. Ibnu Haitham juga telah
menemukan kewujudan tarikan gravitasi sebelum Issaac Newton
mengetahuinya. Selain itu, teori Ibnu Haitham mengenai jiwa manusia
sebagai satu rentetan perasaan yang bersambung-sambung secara teratur
telah memberikan ilham kepada ilmuwan barat untuk menghasilkan wayang
gambar. Teori beliau telah membawa kepada penemuan film yang kemudiannya
disambung-sambung dan dimainkan kepada para penonton sebagaimana yang
dapat kita lihat pada masa kini.
Al-Biruni (973 – 1050 M)

Al Biruni dalam perangko Sovyet
Al Biruni dalam perangko Sovyet
Ahli astronomi yang satu ini, turut memberi sumbangan dalam bidang
astrologi pada zaman Renaissance. Ia telah menyatakan bahwa bumi
berputar pada porosnya. Pada zaman itu, Al-Biruni juga telah
memperkirakan ukuran bumi dan membetulkan arah kota Makkah secara
saintifik dari berbagai arah di dunia. Dari 150 hasil buah pikirnya, 35
diantaranya didedikasikan untuk bidang astronomi.
* Saat berusia 17 tahun, dia meneliti garis lintang
bagi Kath, Khwarazm, dengan menggunakan altitude maksima matahari.* Saat
berusia 22, dia menulis beberapa hasil kerja ringkas, termasuk kajian
proyeksi peta, “Kartografi”, yang termasuk metodologi untuk membuat
proyeksi belahan bumi pada bidang datar.
* Saat berusia 27, dia telah menulis buku berjudul “Kronologi” yang merujuk kepada hasil kerja lain yang dihasilkan oleh beliau (sekarang tiada lagi) termasuk sebuah buku tentang astrolab, sebuah buku tentang sistem desimal, 4 buku tentang pengkajian bintang, dan 2 buku tentang sejarah.
* Beliau membuat penelitian radius Bumi kepada 6.339,6 kilometer (hasil ini diulang di Barat pada abad ke 16).
* Saat berusia 27, dia telah menulis buku berjudul “Kronologi” yang merujuk kepada hasil kerja lain yang dihasilkan oleh beliau (sekarang tiada lagi) termasuk sebuah buku tentang astrolab, sebuah buku tentang sistem desimal, 4 buku tentang pengkajian bintang, dan 2 buku tentang sejarah.
* Beliau membuat penelitian radius Bumi kepada 6.339,6 kilometer (hasil ini diulang di Barat pada abad ke 16).
Al-Zarqali (1029 – 1087 M)

Saintis Barat mengenalnya dengan panggilan Arzachel. Wajah Al-Zarqali diabadikan pada perangko di Spanyol, sebagai bentuk penghargaan atas sumbangannya terhadap penciptaan astrolabe yang lebih baik. Beliau telah menciptakan jadwal Toledan dan juga merupakan seorang ahli yang menciptakan astrolabe yang lebih kompleks bernama Safiha.
Saintis Barat mengenalnya dengan panggilan Arzachel. Wajah Al-Zarqali diabadikan pada perangko di Spanyol, sebagai bentuk penghargaan atas sumbangannya terhadap penciptaan astrolabe yang lebih baik. Beliau telah menciptakan jadwal Toledan dan juga merupakan seorang ahli yang menciptakan astrolabe yang lebih kompleks bernama Safiha.
Al-Zarqali mengoreksi data geografis dari Ptolemy dan Al-Khwarizmi.
Secara khusus, ia mengoreksi perkiraan Ptolmey tentang panjang laut
Mediterania dari 62 derajat ke nilai yang benar, yaitu 42 derajat. Dalam
risalahnya yang berjudul tahun matahari, yang bertahan hanya dalam
terjemahan bahasa Ibrani, ia adalah yang pertama yang menunjukkan gerak
relatif dari apogee matahari terhadap latar belakang bintang tetap. Ia
mengukur laju gerak adalah 12,9 detik per tahun, yang sangat dekat
dengan perhitungan modern 11,6 detik. Model Al-Zarqālī untuk gerakan
Matahari,. Dimana pusat deferent Matahari bergerak perlahan melingkar
untuk mereproduksi gerakan teramati dari apogee surya, telah dibahas
pada abad ketiga belas oleh Bernard dari Verdun dan pada abad kelima
belas oleh Regiomontanus dan Peurbach. Pada abad keenam belas Copernicus
mengembangkan dan memodifikasi model ini, ke bentuk heliosentris, dan
dia tulis di dalam De Revolutionibus Orbium Coelestium nya.
Jabir Ibn Aflah (1100–1150)

Abū Muḥammad Jabir bin Aflah (bahasa Arab: أبو محمد جابر بن أفلح, Latin: Geber / Gebir, 1.100-1.150) adalah seorang astronom Muslim dan matematika dari Sevilla, yang aktif di Andalusia abad ke-12. Karyanya Islah al-Majisṭi (Koreksi dari Almagest) mempengaruhi astronomi Islam, Yahudi dan Kristen.
Abū Muḥammad Jabir bin Aflah (bahasa Arab: أبو محمد جابر بن أفلح, Latin: Geber / Gebir, 1.100-1.150) adalah seorang astronom Muslim dan matematika dari Sevilla, yang aktif di Andalusia abad ke-12. Karyanya Islah al-Majisṭi (Koreksi dari Almagest) mempengaruhi astronomi Islam, Yahudi dan Kristen.
Karya ini merupakan komentar dan pengerjaan ulang dari Almagest nya
Ptolemy dan merupakan kritik pertama terhadap Almagest di dunia Islam
bagian barat. Dia terutama mengkritik dasar matematika dari Almagest.
Misalnya ia menggantikan penggunaan teorema Menelaus ‘ yang didasarkan
pada trigonometri bola, dengan apa yang tampaknya merupakan upaya untuk
meningkatkan presisi matematis dari pekerjaan. Teorema baru ini telah
dikembangkan oleh sekelompok ahli matematika islam abad 10 yang termasuk
Abu al-Wafa ‘Būzjānī dan kemudian juga oleh Abu Abdullah Muhammad ibn
Muadh Al-Jayyani yang bekerja di Andalusia selama abad ke-11. Jabir
tidak mengambil kredit dari salah satu penulis dan tidak mengacu pada
seorang penulis Islam tunggal dalam karya ini.
Salah satu perubahan substansial yang dibuat Jabir untuk akun Ptolemy
adalah bahwa ia menempatkan orbit Venus dan Merkurius, planet-planet
minor, di luar dari Matahari, dan bukan antara Bulan dan Matahari
seperti yang dituliskan dalam karya asli Ptolemy.
Dia menciptakan instrumen pengamatan yang dikenal sebagai torquetum, alat mekanis untuk mengubah antara sistem koordinat bola.
Beberapa penulis Islam kemudian dipengaruhi oleh Jabir, termasuk Ibnu
Rusyd (Averroes) dan Nur ad-Din al-Betrugi, keduanya bekerja di
Andalusia. Karya Jabir juga menular ke Mesir pada abad ke-12 oleh
Maimonides dan lebih ke timur pada akhir abad ke-13.
Karya Jabir diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Ibrani dan
Latin, yang terakhir oleh Gerard dari Cremona, yang melatinkan namanya
menjadi “Geber”. Melalui saluran ini, karya Jabir memiliki pengaruh luas
pada matematikawan dan astronom Eropa yang muncul kemudian dan membantu
memperkenalkan trigonometri di Eropa.
Sebagian besar materi pada trigonometri bola di ‘Regiomontanus Pada
Segitiga (c.1463) diambil secara langsung dan tanpa kredit dari karya
Jabir, seperti yang tercantum dalam abad ke-16 oleh Gerolamo Cardano.
Trigonometri yang Nicholas Copernicus (1473-1543) diuraikan dalam bagian
pertama dari karya fiksi ilmiah De revolutionibus juga rupanya
terinspirasi oleh Jabir.
Nasiruddin at-Tusi (1201 – 1274 M)

Nasiruddin at-Tusi berhasil membuat tabel pergerakan planet yang sangat akurat. Kontribusi lainnya yang amat penting bagi perkembangan astronomi adalah kitab Zij-i Ilkhani yang ditulis dalam bahasa Persia dan lalu diterjemahkan dalam bahasa Arab. Kitab itu disusun setelah 12 tahun memimpin obeservatorium Malagha.
Nasiruddin at-Tusi berhasil membuat tabel pergerakan planet yang sangat akurat. Kontribusi lainnya yang amat penting bagi perkembangan astronomi adalah kitab Zij-i Ilkhani yang ditulis dalam bahasa Persia dan lalu diterjemahkan dalam bahasa Arab. Kitab itu disusun setelah 12 tahun memimpin obeservatorium Malagha.
Selain itu, al-Tusi juga berhasil menulis kitab terkemuka lainnya
berudul Al-Tadhkira fi’ilm Al-hay’a (Memoir Astronomi). Nasiruddin
mampul memodifikasi model semesta episiklus Ptolomeus dengan
prinsip-prinsip mekanika untuk menjaga keseragaman rotasi benda-benda
langit. Ia wafat pada 26 Juni 1274 di Baghdad. Meski begitu, jasa dan
kontribusinya dalam pengembangan ilmu pengetahuan masih tetap dikenang.
Ibnu Al Syatir (1304 – 1375 M)

Ide Ibn Al-Syatir tentang PLANET BUMI MENGELILINGI MATAHARI telah Menginspirasi Copernicus. Akibatnya, COPERNICUS dimusuhi gereja dan dianggap pengikut setan. Demikian juga GALILEO, yang merupakan pengikut Copernicus, secara resmi dikucilkan oleh Gereja Katolik dan dipaksa untuk bertobat, namun dia menolak.
Ide Ibn Al-Syatir tentang PLANET BUMI MENGELILINGI MATAHARI telah Menginspirasi Copernicus. Akibatnya, COPERNICUS dimusuhi gereja dan dianggap pengikut setan. Demikian juga GALILEO, yang merupakan pengikut Copernicus, secara resmi dikucilkan oleh Gereja Katolik dan dipaksa untuk bertobat, namun dia menolak.
Ibnu Al-Shatir merombak habis Teori Geosentris yang dicetuskan
Claudius Ptolemaeus atau Ptolemy (90 SM– 168 SM). Secara matematis,
al-Shatir memperkenalkan adanya epicycle yang rumit (sistem lingkaran
dalam lingkaran). Al-Shatir mencoba menjelaskan bagaimana gerak
merkurius jika bumi menjadi pusat alam semestanya dan merkurius bergerak
mengitari bumi.
Model bentuk Merkurius Ibnu al-Shatir menunjukkan penggandaan dari
epicycle menggunakan Tusi-couple, sehingga menghilangkan eksentrik dan
equant teori Ptolemaic. Menurut George Saliba dalam karyanya A History
of Arabic Astronomy: Planetary Theories During the Golden Age of Islam,
Kitab Nihayat al-Sul fi Tashih al-Usul, merupakan risalah astronomi Ibnu
Al-Shatir yang paling penting.
“Dalam kitab itu, secara drastis ia mereformasi model matahari,
bulan, dan planet Ptolemic. Dengan memperkenalkan sendiri model
non-Ptolemic yang menghapuskan epicycle pada model matahari, yang
menghapuskan eksentrik dan equant. Dengan memperkenalkan epicycle ekstra
pada model planet melalui model Tusi-couple, dan yang menghilangkan
semua eksentrik/eccentric, epicycle dan equant di model bulan,” jelas
Saliba.
Model Ibn al-Shatir untuk penampilan Merkurius, menunjukkan perbanyakan epicycles menggunakan Tusi-couple, menghilangkan eksentrik dan equant teori Ptolemaic.
Sebelumnya, aliran Maragha hanya berpatokan pada model yang sama
dengan model Ptolemaic. Model geometris Ibnu al-Shatir merupakan karya
pertama yang benar-benar unggul daripada model Ptolemaic karena modelnya
ini lebih baik sesuai dengan pengamatan empiris.
Ibnu al-Shatir juga berhasil melakukan pemisahan filsafat alam dari
astronomi dan menolak model empiris Ptolemic dibanding filsafat dasar.
Tidak seperti astronomer sebelumnya, Ibnu al-Shatir tidak peduli dengan
mempertahankan teori prinsip kosmologi atau filsafat alam (atau fisika
Aristoteles), melainkan untuk memproduksi sebuah model yang lebih
konsisten dengan pengamatan empiris.
Modelnya menjadi lebih baik sesuai dengan pengamatan empiris daripada
model-model sebelumnya yang diproduksi sebelum dia. Saliba menambahkan
karyanya tersebut menjadi karya penting dalam astronomi, yang dapat
dianggap sebagai sebuah “Revolusi ilmiah sebelum Renaissance”.
Dalam membuat model barunya tersebut, Ibnu al-Shatir melakukan
pengujian dengan melakukan pengamatan empiris. Tidak seperti astronomer
sebelumnya, Ibnu al-Shatir umumnya tidak keberatan terhadap falsafah
astronomi Ptolemaic, tetapi ia ingin menguji seberapa jauh teori Ptolemy
cocok dengan pengamatan empirisnya.
Dia menguji model Ptolemaic, dan jika ada yang tidak cocok dengan
pengamatannya, maka ia akan merumuskan sendiri model non-Ptolemaic pada
bagian yang tidak cocok dengan pengamatannya. Pengamatannya yang akurat
membuatnya yakin untuk menghapus epicycle dalam model matahari
Ptolemaic.
Ibnu al-Shatir juga merupakan astromer pertama yang memperkenalkan
percobaan dalam teori planet untuk menguji model dasar empiris
Ptolemaic. Saat menguji model matahari Ptolemaic, Ibnu al-Shatir
memaparkan ”pengujian nilai Ptolemaic untuk bentuk dan ukuran matahari
dengan menggunakan pengamatan gerhana bulan.”
“Karyanya tentang percobaan dan pengamatannya memang telah musnah,
namun buku The Final Quest Concerning the Rectification of Principles
adalah milik al-Shatir,” papar Saliba.
Pengaruh Karya Ibnu Al-Shatir
“Meskipun sistemnya merupakan geosentri yang kuat, dia telah menghapuskan equant dan accentric Ptolemaic dan rincian sistem matematikanya hampir serupa dengan karya Copernicus’ De revolutionibus,” jelas V Roberts and E. S. Kennedy dalam karyanya “The Planetary Theory of Ibn al-Shatir”.
“Meskipun sistemnya merupakan geosentri yang kuat, dia telah menghapuskan equant dan accentric Ptolemaic dan rincian sistem matematikanya hampir serupa dengan karya Copernicus’ De revolutionibus,” jelas V Roberts and E. S. Kennedy dalam karyanya “The Planetary Theory of Ibn al-Shatir”.
Menurut Saliba, model bulan Copernicus juga tidak berbeda dengan
model Ibnu al-Shatir. Dengan demikian dapat percaya bahwa model Ibnu
al-Shatir telah diadaptasi oleh Copernicus dalam model heliocentric.
“Walaupun masih belum jelas bagaimana ini dapat terjadi, diketahui
bahwa manuskrip Byzantine Yunani yang berisi Tusi-couple tempat Ibnu
al-Shatir bekerja telah mencapai Italia pada abad ke-15 M,” jtutur AI
Sabra dalam karyanya “Configuring the Universe: Aporetic, Problem
Solving, and Kinematic Modeling as Themes of Arabic Astronomy”.
Saliba menambahkan, diagram model heliocentric yang dikembangkan
Copernicus, termasuk tanda-tanda dari poin, hampir sama dengan diagram
dan tanda-tanda yang digunakan Ibnu al-Shatir pada model geosentrisnya.
“Sehingga sangat mungkin bahwa Copernicus terpengaruh karya Ibnu
al-Shatir,” ujarnya.
YM Faruqi dalam karyanya ” Contributions of Islamic scholars to the
scientific enterprise”, mengungkapkan, “Teori pergerakan bulan Ibnu
al-Shatir sangat mirip dengan yang dicetuskan Copernicus sekitar 150
tahun kemudian”. Begitulah Ilmuwan Muslim al-Shatir mampu memberi
pengaruh bagi dunia Barat.
Kontribusi Al-Shatir dalam Bidang Teknik
* Jam Astrolab
David A King dalam bukunya bertajuk The Astronomy of the Mamluks menjelaskan bahwa Ibnu al-Shatir menemukan jam astrolabe pertama di awal abad ke-14 M.
* Jam Astrolab
David A King dalam bukunya bertajuk The Astronomy of the Mamluks menjelaskan bahwa Ibnu al-Shatir menemukan jam astrolabe pertama di awal abad ke-14 M.
Astrolab adalah instrumen astronomi zaman dahulu yang digunakan oleh
astronom, navigator, dan astrolog pada era klasik. Astrolab banyak
digunakan untuk menentukan lokasi dan memprediksi posisi matahari,
bulan, planet, dan bintang; menentukan waktu lokal dengan diketahui
letak bujur dan letak lintang; survei; serta triangulasi. Pada era Islam
abad pertengahan, astrolab terutama digunakan untuk mempelajari
astronomi, navigasi, survei, penentu waktu, salat, serta menentukan arah
kiblat.
* Jam Matahari
Menurut catatan sejarah, sundial atau jam matahari merupakan jam tertua dalam peradaban manusia. Jam ini telah dikenal sejak tahun 3500 SM. Pembuatan jam matahari di dunia Islam dilakukan oleh Ibnu al-Shatir, seorang ahli Astronomi Muslim ( 1304-1375 M). “Ibnu al-Shatir merakit jam matahari yang bagus sekali untuk menara Masjid Umayyah di Damaskus,” ujar David A King dalam karyanya bertajuk The Astronomy of the Mamluks.
Menurut catatan sejarah, sundial atau jam matahari merupakan jam tertua dalam peradaban manusia. Jam ini telah dikenal sejak tahun 3500 SM. Pembuatan jam matahari di dunia Islam dilakukan oleh Ibnu al-Shatir, seorang ahli Astronomi Muslim ( 1304-1375 M). “Ibnu al-Shatir merakit jam matahari yang bagus sekali untuk menara Masjid Umayyah di Damaskus,” ujar David A King dalam karyanya bertajuk The Astronomy of the Mamluks.
Berkat penemuannya itu, ia kemudian dikenal sebagai muwaqqit
(pengatur waktu ibadah) pada Masjid Umayyah di Damaskus, Suriah. Jam
yang dibuat Ibnu al-Shatir itu masih tergolong jam matahari kuno yang
didasarkan pada garis jam lurus. Ibnu al-Shatir membagi waktu dalam
sehari dengan 12 jam, pada musim dingin waktu pendek, sedangkan pada
musim panas waktu lebih panjang. Jam mataharinya itu merupakan
polar-axis sundial paling tua yang masih tetap eksis hingga kini.
“Jam mataharinya merupakan jam tertua polar-axis sundial yang masih
ada. Konsep kemudian muncul di Barat jam matahari pada 1446,” ungkap
Jones, Lawrence dalam karyanya “The Sundial And Geometry”.
* Kompas
David A.King mengatakan Ibnu al-Shatir juga menemukan kompas, sebuah perangkat pengatur waktu yang menggabungkan jam matahari dan kompas magnetis pada awal abad ke-14 M.
David A.King mengatakan Ibnu al-Shatir juga menemukan kompas, sebuah perangkat pengatur waktu yang menggabungkan jam matahari dan kompas magnetis pada awal abad ke-14 M.
* Instrumen Universal
Ibnu al-Shatir menjelaskan instrumen astronomi lainnya yang ia disebut sebagai “instrumen universal”. Penemuan al-Shatir ini kemudian dikembangkan seorang astronomer dan rekayawasan legendaris di era kekhalifahan Turki Usmani, Taqi al-Din. Iinstrumen itu digunakandi observatorium al-Din Istanbul 1577-1580 M
Ibnu al-Shatir menjelaskan instrumen astronomi lainnya yang ia disebut sebagai “instrumen universal”. Penemuan al-Shatir ini kemudian dikembangkan seorang astronomer dan rekayawasan legendaris di era kekhalifahan Turki Usmani, Taqi al-Din. Iinstrumen itu digunakandi observatorium al-Din Istanbul 1577-1580 M
Kegemilangan Observatorium Ulugh Beg
Sejatinya observatorium pertama di dunia dibangun astronom Yunani bernama HIPPARCHUS (150 SM). Namun, di mata ahli astronomi Muslim abad pertengahan, konsep observatorium yang dilahirkan Hipparcus itu jauh dari memadai. Sebagai ajang pembuktian, para sarjana Muslim pun membangun observatorium yang lebih moderen pada zamannya.
Sejatinya observatorium pertama di dunia dibangun astronom Yunani bernama HIPPARCHUS (150 SM). Namun, di mata ahli astronomi Muslim abad pertengahan, konsep observatorium yang dilahirkan Hipparcus itu jauh dari memadai. Sebagai ajang pembuktian, para sarjana Muslim pun membangun observatorium yang lebih moderen pada zamannya.
Sejumlah astronom Muslim yang dipimpin Nasir al-Din al-Tusi berhasil
membangun observatorium astronomi di Maragha pada 1259 M. Observatorium
itu dilengkapi perpustakaan dengan koleksi buku mencapai 400 RIBU judul.
Observatorium Maragha juga telah melahirkan sejumlah astronom terkemuka
seperti, QuIb al-Din al-Shirazy, Mu’ayyid al-Din al-Urdy, Muiyi al-Din
al-Maghriby, dan banyak lagi.
Model dari observatorium Maragha
Ahli astronomi Barat, Kevin Krisciunas dalam tulisannya berjudul The
Legacy of Ulugh Beg mengungkapkan, observatorium termegah yang dibangun
sarjana Muslim adalah ULUGH BEG. Observatorium itu dibangun seorang
penguasa keturunan Mongol yang bertahta di Samarkand bernama Muhammad
Taragai Ulugh Beg (1393-1449). Dia adalah seorang pejabat yang menaruh
perhatian terhadap astronomi.
Ketertarikan Ulugh Beg dalam astronomi bemula, ketika dia mengunjungi
Observatorium Maragha yang dibangun ahli astronomi Muslim terkemuka,
Nasir al-Din al-Tusi,” tutur Krisciunas. Geliat pengkajian astronomi di
Samarkand mulai berlangsung pada tahun 1201. Namun, aktivitas astronomi
yang sesungguhnya di wilayah kekuasaan Ulugh Beg mulai terjadi pada 1408
M.
Ulugh Beg Observatory
Ghirah astronomi di Samarkand mengalami puncaknya ketika Ulugh Beg
mulai membangun observatorim pada 1420. Menurut Kriscunas, berdasarkan
laporan yang ditulis ahli astronomi pada saat iru, Al-Kashi aktivitas
pengkajian astronomi di Observatorium Ulugh Beg didukung oleh 70
SARJANA. Para ahli astronomi itu mendapatkan perlakukan istimewa dengan
fasilitas dan gaji yang luar biasa besarnya. Observatorium ini
beroperasi selama 50 tahun.
0 Response to "Ilmuwan-Ilmuwan Astronomi Muslim"
Post a Comment